Minggu, 23 Agustus 2009

ANAK-ANAK KARBITAN


Tulisan Dr. Dewi Utama Faizah beliau psikolog juga staf depdiknas.

Anak-Anak Karbitan

Anak-anak yang digegas menjadi cepat mekar cepat matang cepat layu.

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana
mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga
persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak
mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri
dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat
untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran
berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang
puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat
membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa,
hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan
berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut
kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi
kantung orangtua .

Captive market! Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam.
Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai
informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana
pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut!
Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi
anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Disamping ketidakpatutan yang
dilakukan oleh orang tua akibat ketidak tahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas.

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap
anak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan
intelektual secara dini. Akibatnva bermunculanlah anak-anak ajaib
dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk
menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan
kecakapan-kecakapan akademik dl dalam dan di luar sekolah.
Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan
ini terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker.
Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra
scorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk
Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya
dibidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya
sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang
terjadi kemudian? James Thurber seorang wartawan terkemuka, pada suatu
hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah
William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat
orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.
Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi
pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952,
dimana seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan
eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan
kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin. Baru saja bayi itu
lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang
bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang
dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan
kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith
telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith
telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun ia
membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia
12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 lahun la
menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem
berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas
otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya juga
tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih
anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam
kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.
Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang
berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil
mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai
murid yang dungu. Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan
belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.
Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak
di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kogtutif. Otak memang
memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu
banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan "Early
Childhood Training". Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasanmya.
Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak
mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas
dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak
kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10%
saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam
proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang
dimana-rnana, di Indonesia.

"Early Ripe, early Rot.!"

Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun
1990 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan
pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua
merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka
berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan
"peluang emas" bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan
anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak- Kanak (Pra Sekolah).
Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih
berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya
membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika
sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957.
Mulailah "Era Headstart" merancah dunia pendidikan. Para akademisi
begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak
sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak
tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan
sebagai anak. Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan
pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University
yang menulis sebuah buku terkenal "The Process of Education" pada
tahun 1990, la menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat
tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi
kurikulum pendidikan di Amerika . "We begin with the hypothesis that
any subject can be taught effectively in some intellectually honest
way to any child at any stage of development" . Inilah kalimat yang
merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh banyak pendidik,
yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara
memaksa otak kiri anak sehingga
membuat mereka cepat matang dan cepat busuk. early ripe, early rot!
Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia
SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama,
yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn
Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.
Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep
"kesiapan-readiness " dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang
mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang "biological
limitiions on learning'. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan
intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar
mereka segera siap belajar apapun. Tekanan yang bertubi-tubi dalam
memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi
cepat mekar. Anak-anak menjadi "miniature orang dewasa ". Lihatlah
sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya
orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga
seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk
cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet.
Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak anak
yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang
keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual
promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa,
berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat.
Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak?
Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan
seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu
dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja
anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi
perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat
tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh
mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan
(intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan
sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnva
saat perilaku anak menampilkan gaya "kedewasaan ", sementara
perasaannya menangis berteriak sebagai "anak". Seperti sebuah lagu
popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang anak laki-laki
"Heintje" di era tahun 70-an. I'm Nobody'S Child, Just like a flower,
I'm growing wild, No mommies kisses and no daddy's smile, Nobody's
louch me I'm nobody's child.
Dampak berikutnya terjadi . ketika anak memasuki usia remaja Akibat
negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki
usia remaja. Mereka tidak segan segan mempertontonkan berbagai macam
perilaku yang tidak patut. Patricia O'Brien menamakannya sebagai "The
Shrinking of Childhood". Lu belum tahu ya. bahwa gue telah melakukan
segalanya", begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun
kepada teman-temannya. "Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks
" serunya bangga.
Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan
bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai
gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua
menjadi cepat mekar.. kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak
dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh,
untuk belajar dan untuk berkembang, .sebuah proses dalam kehidupannya.
Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas
yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan
anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia
lebih mengandalkan tenaga "baby sitter" sebagai pengasuh anak-anaknva.
Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai
"Cinderella Syndrome" yang senang window shopping, ikut arisan, ke
salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis.
Sebagai bentuk ilusi rnenghindari kehidupan nyata vang mereka jalani.
Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di
lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut
berbagai Les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi
cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga
jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di
sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka
kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak
mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan
parenting di Iembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.

Era Superkids

Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva "be special " daripada "be
average or normal semakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin
anak-anak mereka menjadi "to exel to be the best". Sebetulnya tidak
ada yang salah. Nanun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai
mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka
mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa,
renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak
lagi lainnya.maka lahirlah anak-anak super-"SUPERKIDS' ". Cost merawat
anak supcrkids ini sangat mahal.
Era Superkids berorientasi kepada "Competent Child". Orangtua saling
berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya "earlier is
better". Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam
pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik.
Neil Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan
bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah.
ketika anak anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa
yang ke kanak-kanakan!

Berbagai Gaya Orangtua

Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan
berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan
"miseducation" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind
(1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara
lain:

Gourmet Parents - (Ortu Borju)

Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah
bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia,
dengan gaya hidup kebarat baratan. Apabila menjadi orangtua maka
mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat
karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan
dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak.
Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya
membangun karier, maka "superkids" merupakan bukti dari kehebatan
mereka sebagai orangtua. Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknva
baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam
program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran
mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling
dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah
sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil
terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok orangtua "gourmet "
atau- kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents - (Ortu Intelek)

Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah
ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering
melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya
membantu membuat majalah dinding, dan kegiatan ekstra kurikular
lainnya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari
kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak
mereka "Superkids ", Apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik
yang tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah
mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya
bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas.
Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap
kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak
hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.

Gold Medal Parents - (Ortu Selebritis)

Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering
mengikutkan anaknya ke berbagai kompctisi dan gelanggang. Ada
gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains
yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia . Ada juga gelanggang
seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes
kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat
meraih kemenangan dan merijadi "seorang Bintang Sejati ". Sejak dini
mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi "Sang Juara", mulai dari
juara renang, menyanyi dan melukis hingga none abang cilik kelika
anak-anak mereka masih berusia TK.
Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang
puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu
di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok,
dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta .
Anak-anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat
melelehi mascara anak kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat,
membujuk anak-anaknya bersabar. Mengharapkan acara segera di mulai dan
anaknya akan kelular sebagai pemenang. Sementara pihak penyelenggara
mengusir panas dengan berkipas kertas.Banyak kasus yang mengenaskan
menimpa diri anak akibat perilaku ambisi kelompok gold medal parents
ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang gadis kecil pesenam usia
TK rnengalami kelainan tulang akibat ambisi ayahnya yang guru
olahraga. Atau kasus "bintang cilik" Yoan Tanamal yang mengalami
tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya. Kemudian
menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni
penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya
menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak
bencana pada anak-anak mereka!

Beberapa waktu yang lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik
"Joshua" yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan
orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan
anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal.
Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya.
Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak
ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara. kemudian
di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum
bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat
membentuk dan menjadikan anaknya seorang "superkid" -seorang penyanyi
sekaligus seorang
bintang film..

Do-it Yourself Parents

Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami
dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan
professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di
sekolah, di tempat ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok
ini menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan
mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan
anak-anaknya "Superkids" -earlier is better". Dalam kehidupan
sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka
juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang
mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang, dan
mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents - (Ortu Paranoid)

Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang
dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan
mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh
dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan
marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih
memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran
yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini
secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep
"Superkids" Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang
hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam
marabahaya. Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari
bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya "Karate, Yudo, pencak Silat"
sejak dini. Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik
anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya
di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi
yang selalu mereka pikir akan membawa
dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi "steril"
dengan lingkungannya.

Prodigy Parents - (Ortu Instant)

Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak
memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, narnun tidak
berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia
bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang
sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan
menumpulkan kemampuan anak-anaknya. Tidak kalah mengejutkannya, mereka
juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa
memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada
anak-anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh
kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-buku
instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku tentang
"Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca" karangan Glenn Doman , atau
"Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika" karangan Siegfried, "Berikan
Anakmu pemikiran Cemerlang" karangan Therese Engelmann, dan "Kiat-Kiat
Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 9 Hari" karangan Sidney Ledson.

Encounter Group Parents - ( Ortu Ngerumpi)

Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan.
Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau
terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang
mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam
perkawinannya. Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai
relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai
akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik
anak--anak dengan berbagai perilaku "gang ngrumpi" yang terkadang
mengabaikan anak. Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam
kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau
pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi
kepada kepentingan kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah
terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya.
Menjadikan anak-anak mereka sebagai "Superkids" juga sangat
diharapkan. Namun banyak dari anak anak mereka biasanya kurang
menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

Milk and Cookies Parents - (Ortu Ideal)

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa
kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang
sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan
menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan
mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.
Kelompok ini tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan
"miseducation" dalam merawat dan mengasuh anak-anaknva. Mereka
memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh
perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.
Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan
musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang
makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi
anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak
mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah
yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan
rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam
kehidupan belajar. Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang
menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka
begitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat
menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya. Dengan kata lain
mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri
kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar seorang
anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik!

"Perlu diketahui bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih
kuat, atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti
daripada kenangan indah terutama kenangan manis di masa kanak-kanak.
Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang
indah, kenangan berharga yang
tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu pendidikan yang terbaik.
Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan indah di masa kecilnya,
maka kelak seluruh kehidupannya akan terselamatkan. Bahkan apabila
hanya ada satu saja kenangan indah yang tersiampan dalam hati kita,
maka itulah kenangan yang akan
memberikan satu hari untuk keselamatan kita" (destoyevsky' s brothers
karamoz).

Perspektif Sekolah Yang Mengkarbit Anak

Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak
didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah
berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah
terlihat sebagai sebuah "Industri" dengan tawaran-tawaran menarik yang
mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas
unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk
hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai "Operator
kurikulum" dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena
rangkap tugas sebagai administrator sekolah. Sebagai guru kelas
yangmengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya
dapat menjadi "pengabar isi buku pelajaran" ketimbang menjalankan
fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat
tertentu sekolah akan menggunakan "mesin-mesin dalam menskor" capaian
prestasi yang diperoleh anak setelah
diberikan ujian berupa potongan-potongan mata pelajaran. Anak didik
menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di sekolah. Pikiran
mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang
tidak mereka butuhkan sebagai anak. Manfaat apa yang mereka peroleh
jika guru menyita anak membuat bagan organisasi sebuah birokrasi?
Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka diminta membuat PR yang
menuliskan susunan kabinet yang ada di pemerintahan?

Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal
kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran? Tumpulnya rasa dalam
mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan
dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak
menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan
yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada
dalam kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan
dalam kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah
untuk sekolah. dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk.. Namun sekolah
tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk
menyongsong kehidupannya! Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara
yang sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire
mengatakan bahwa sekolah telah melakukan "pedagogy of the oppressed"
terhadap anak-anak didiknya. Dimana guru mengajar, anak diajar, guru
mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak
dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan
anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak
hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak
lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya
begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses
pembelajaran (Freire, 1993). Model pembelajaran banking system ini
dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum
lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking wilayah..

Mengkompetensi Anak Merupakan "KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN ?"

Anak adalah anugrah Tuhan. sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi
citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang
bertanggungjawab. "(Nature versus Nurture) bagaimana ? Karena ada dua
pengertian kompetensi. Kompetensi yang datang dari kebutuhan di luar
diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang sesuai
dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri. Sebagai contoh adalah
konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John Watson (psikolog) pada
tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat ditempa menjadi apapun
sesuai kehendak kita -sebagai komponen sentral dari konsep kompetensi.
Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka mereka juga dapat dibentuk
melalui pembelajaran dini.

Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut : "Give
me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to
bring them up in, and I'll guarantee you to take any one at random and
train him to become any type of specialist I might select - doctor,
lawyer, artist, merchant chief and yes,
even beggar and thief regardless of this talents, penchants,
tendencies, vocations, and race of his ancestors".
Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan "intervensi dini"
setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada
anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut
New Jersey pada tahun 1979. Dimana guru-guru melakukan serangkaian
program tes untuk mengukur "Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic
Skill)" dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari
pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger
kepada New York Times sebagai berikut : The improvement in those areas
were not the result of any magic program or any singular teaching
strategy, they were. simply proof that accountability is crucial and
that, in the past five years, it has paid off in New Yersey"

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti
Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang
diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami
keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas
rendah. semestinya kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini
sangat berbahaya jika dibuatkan kompetensi-kompeten si perolehan
pengetahuan hanya secara kognitif. Oleh karena hingga hari ini sekolah
belum mampu menjawab dan dapat menampilkan kompetensi emosi sosial
anak dalam proses pembelajaran. Pendidikan anak seutuhnya yang terkait
dengan
berbagai aspek seperti emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum
dapat dikemas dalam pembelajaran di sekolah secara terintegrasi.
Sementara pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan
berbagai aspek yang dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam dan
unik untuk dibelajarkan. Bukan anak dibelajarkan untuk di tes dan di
skor saja!. Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan
pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan
anak dapat terus menerus merawat minat dan keingintahuan untuk
belajar. Anak mengenali tumbuh kembang yang terjadi secara
berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku keingintahuan
-"curiosity" inilah yang banyak tercabut dalam sistem persekolahan
kita. Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan!. "Empty Sacks
will never stand upright" (George Eliot). Pendidikan anak seutuhnya
tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui kecakapan akademik
semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun secara bersamaan,
pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki anak didiknya.
Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik anak akan
menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah
dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik
sanubari "karakter". Dimana mereka mendidik anak menjadi "good and
smart " terang hati dan pikiran. Sebuah pendidikan yang baik akan
melahirkan "how learn to learn" pada anak didik mereka. Guru-guru yang
bersemangat memberi keyakinan kepada anak didiknya bahwa mereka akan
memperoleh kecakapan berpikir tinggi, dengan berpikir kritis, dan
cakap memecahkan masalah hidup yang mereka hadapi sebagai bagian dari
proses mental. Pengetahuan yang terbina dengan baik yang melibatkan
aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan berbagai kreativitas.

Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya
berjam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia. Thomas Edison
mengatakan bahwa "genius is 1 percent inspiration and 99 percent
perspiration ". Semangat belajar "encourige" tidak dapat muncul
tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang
melibatkan hati, kesukaan dan kecintaan belajar. Sementara di sekolah
banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak mencintai mereka
sebagai anak. Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental
adalah mengalirkan "moral litermy" melalui pendidikan karakter. Kita
harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus
karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King,
Jr ). lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan
fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara
pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik ..

Penutup

Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang
terang hati dan terang pikiran "good and smart" merupakan tugas kita
bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras
yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat,
khususnya antara guru dan
orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak
berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan
segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi
adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan
mengabaikan faktor emosi.

Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini
kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi "SUPERKIDS". Inilah
fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari
lahirnya era anak-anak karbitan! Lihatlah nanti ketika anak-anak
karbitan itu menjadi dewasa, maka
mereka akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan